‘Hours’: Menghitung Detik Demi Detik Penuh Bencana
Jakarta – Kematian Paul Walker di pengujung 2013 adalah sebuah berita sedih bagi siapapun yang mendengarnya. Apakah Anda penggemar serial ‘Fast and Furious’ atau tidak, kematian aktor yang banyak terlibat dengan skandal Hollywood yang aneh-aneh itu jelas menyisakan duka yang mendalam. Namanya mungkin tak sebesar Bard Pitt, atau mempunyai talenta sehebat Jack Nicholson atau Daniel Day Lewis. Tapi, Walker punya kharisma yang membuat film seperti ‘Fast and Furious’ menjadi asyik untuk dinikmati.
Dalam ‘Hours’, sebuah drama menegangkan dari sutradara debutan Eric Heiserrer, Anda diundang untuk menyaksikan penampilan terbaik Paul Walker sepanjang masa. Berlatar tahun 2005 ketika Badai Katrina mengguncang Amerika, ‘Hours’ membawa kita melihat perjalanan seorang calon bapak muda, Nolan Hayes (Paul Walker) yang sedang membawa istrinya Abigail (Genesis Rodriguez) ke rumah sakit. Nolan pun harus menghadapi kenyataan yang pahit saat istrinya meninggal dalam usahanya melahirkan anak pertama mereka.
Nolan berusaha keras untuk menyerap berita buruk ini sebaik mungkin. Sang dokter berkali-kali menyatakan bahwa anak mereka selamat, walaupun dia harus lahir prematur dan nyawanya bergantung pada mesin neonatal incubator. Seakan itu belum cukup buruk, badai mulai menghantam rumah sakit dan membuat hampir seluruh staf dan pasien dievakuasi.
Dengan bayi yang harus terikat dengan sang mesin sampai dia bisa bernapas sendiri, Nolan harus tetap tinggal di rumah sakit sampai bantuan tiba. Berita buruk berikutnya adalah listrik mati. Mesin inkubatornya memang bisa bergantung dengan baterai, tapi hanya berlangsung selama tiga menit dan setelah itu dia akan mati. Dan, Nolan hanya bisa berusaha keras menjaga agar bayinya tetap hidup, di tengah Badai Katrina, sampai ada bantuan. Tapi, sampai kapan?
Eric Heiserrer adalah penulis untuk remake ‘The Nightmare on Elm Street’ yang buruk dan ‘Final Destination 5′ yang lumayan. ‘Hours’ adalah film pertama yang dia sutradarai dan skripnya dia tulis sendiri. Secara cerita, ‘Hours’ sangat komplit. Belajar dari kesalahan dua film sebelumnya, Heiserrer sekarang tahu bagaimana mengguncang emosi penonton.
Dari awal film penonton tidak diberi jeda untuk bersenang-senang. Setiap waktu, setiap momen, setiap detik yang dilalui Nolan adalah tes. Sebuah tes kejam yang tidak hanya menguji kesabaran karakter utamanya namun juga penonton. Di antara semua ujian yang tidak ada habisnya itu –cairan infus yang mulai habis, persediaan makanan yang terbatas dan adanya para perampok– Heiserrer masih sempat untuk memberikan cuplikan masa lalu Nolan dan Abigail yang sudah pasti sangat mudah untuk membuat penonton berkaca-kaca.
Kekurangan dalam ‘Hours’, selain editing-nya yang tidak konsisten, terlalu action-packed untuk sebuah drama dan terbilang lambat untuk sebuah film survival thriller. Ditambah, musik yang diisi oleh Benjamin Wallfisch tidak cukup ampuh untuk membuat penonton terbius dengan petualangan Nolan. Padahal musik bisa menjadi tambahan nyawa tersendiri bagi ‘Hours’. Seandainya elajar dari ‘Gravity’ –yang musiknya merupakan sebuah dunia tersendiri– film ini bisa saja menjadi salah satu film terkeren 2013.
Tapi, kekurangan minor itu tak menjadi masalah ketika Heiserrer tahu bagaimana mengarahkan aktor utamanya. Paul Walker menghidupkan jiwa Nolan dengan memuaskan. Heiserrer berhasil mengubah Walker menjadi orang biasa seperti kita semua. Bagaimana dia menghadapi kematian istrinya, bagaimana dia berusaha keras untuk menyelamatkan nyawa anaknya. Dalam diri Walker, Nolan menjadi sosok yang tidak saja menjadi karakter yang bisa menjadi panutan namun juga lovable dan sangat manusiawi. Paul Walker adalah magnet dalam film ini, dan Anda tak bisa mengalihkan perhatian darinya. Dan, itu adalah alasan utama Anda harus menonton film yang hanya diputar di jaringan bioskop BlitzMegaplex ini.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.