‘The Lone Survivor’: Tersiksa Demi (Membela) Negara
‘The Lone Survivor’ dibuka dengan klip-klip asli para anggota SEAL yang sedang berlatih. Dalam hitungan menit, penonton disuguhi gambaran beratnya perjuangan para pahlawan Amerika itu. Kemudian kita bertemu dengan Marcus Lutrell (Mark Wahlberg) bersama ketiga temannya, Danny Dietz (Emile Hirsch), Matthew Axelson (Ben Foster) dan Michael Murphy (Taylor Kitsch). Mereka mendapatkan tugas untuk mengintai salah satu pemimpin Taliban, Ahmad Syah (Yousuf Azami) dan anggota-anggotanya.
Dilema melanda ketika penduduk lokal datang dan membuat keempat orang itu pusing memikirkan skala prioritas mereka. Apakah sebaiknya membasmi penduduk lokal tak berdosa itu supaya misi mereka berhasil? Apakah sebaiknya membiarkan mereka pergi namun kesempatan untuk menyerang menjadi sangat kecil? Semua persoalan itu menjadi tidak penting lagi sampai akhirnya anggota Taliban menyerang. Dan, saat itulah Anda menjadi saksi bagaimana empat orang prajurit itu mengorbankan semua yang mereka miliki demi negara dan persahabatan mereka.
Film ini –awas, jangan salah judul dengan film koboi Johnny Depp yang dirilis beberapa waktu silam– berbeda dengan ‘Zero Dark Thirty’ yang penuh dengan pertanyaan filosofis tentang penting atau tidaknya perang. Orang mungkin juga akan membandingkan dengan ‘Argo’ yang sama-sama membicarakan tentang misi bertahan hidup; namun, ‘The Lone Survivor’ dibuat dengan treatment seperti sebuah torture porn. Menyeramkan dan menyakitkan! Tapi, bukan berarti Anda tidak akan terlibat secara emosi dengan petualangan Mark Wahlberg dan kawan-kawan.
Ini bukan pertama kalinya Peter Berg bermain tentara-tentaraan. ‘The Kingdom’ yang juga mengambil latar di Timur Tengah juga menceritakan hal yang sama walaupun misinya lebih untuk tontonan entertainment ketimbang film dengan political statement. Bahkan, ‘Battleship’ pun –yang dihajar banyak kritik– juga mengambil setting di tengah kegiatan anggota NAVY SEAL. Yang membedakan ‘The Lone Survivor’ dengan kedua film tersebut, Anda bisa melihat semangat menggebu-gebu Peter Berg di sini.
Dengan skrip yang ditulis sendiri oleh Berg berdasarkan adaptasi dari buku karya Marcus Lutrell dan Patrick Robinson, film ini tidak banyak berbicara. Ini adalah salah satu dari sedikit film dengan adegan aksi yang justru menggambarkan karakter-karakter utamanya. Hampir 75% adegan dalam film ini diambil di sebuah bukit. Tidak ada waktu untuk establishmentkarakter secara menyeluruh. Begitu misi diberikan, kita langsung digiring untuk melihat mereka melakukan aksi mereka. Dan, saat itulah kita bisa melihat sedikit demi sedikit karakter mereka. Terutama ketika berada dalam situasi kritis. Bahkan dalam keadaan paling gawat pun mereka tetap setia satu sama lain, dan itulah garis besar yang menjadi benang merah film ini.
Tapi, jangan tertipu dengan bromance-nya. ‘The Lone Survivor’ adalah film maskulin dengan adegan “penyiksaan” yang sinematik. Anda dipaksa untuk menyaksikan apa yang dilakukan para karakter utamanya, yang digambarkan dengan begitu detail –salah satu usaha keras Berg untuk membuat segalanya tampak akurat– dan hasilnya begitu menyakitkan. Setiap adegan jatuh menampar pohon, menabrak batu, ditusuk atau ditembak –semuanya tentu saja disajikan secara hiperbola dengan slow-mo– akan membuat Anda bertanya, “Kenapa mereka tidak bunuh diri saja ketimbang menderita?”
Mark Wahlberg, Taylor Kitsch, Emile Hirsch dan Ben Foster tampil bertenaga. Mereka semuanya bermain dengan apik. Kita bisa merasakan persahabatan mereka sampai titik darah penghabisan. Terutama Ben Foster dan Mark Wahlberg. Menyaksikan Wahlberg menembaki orang memang bukan hal yang baru. Namun menyaksikan Wahlberg tampil dengan feeling, bahkan di saat yang paling lemah sekalipun adalah sesuatu yang menyenangkan. Seperti saat dia mendapatkan pertolongan dari penduduk sekitar.
Dengan sound design yang super dan sinematografi canggih –hampir seluruh adegan di bukit terasa seperti hasil jepretan anak hipster dengan instagram-nya yang membuat film ini semakin ironis– membuat ‘The Lone Survivor’ sebagai film tentang survival wajib ditonton. Saya tidak bisa menyangkal bahwa film ini memang hanyalah propaganda Amerika untuk membuat semua penduduknya menjadi cinta Tanah Air dan mengembalikan rasa nasionalis. Tapi, saya tidak kecewa. Dengan hasil seperti yang terlihat di layar, semua orang memang patut menjadi nasionalis, tentu bagi bangsanya masing-masing. Ini adalah usaha yang penuh keringat ketimbang memaksa penonton berdiri menyanyikan lagu nasional.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
Sumber : http://hot.detik.com/movie/read/2014/02/03/103624/2485161/218/the-lone-survivor-tersiksa-demi–membela–negara
Download : Tersiksa Demi (Membela) Negara