‘The Monuments Men’: Sebuah Pertanyaan Moral Dari George Clooney
George Clooney bukanlah seorang seleb Hollywood biasa. Di luar fakta umurnya yang menginjak angka 52 tahun, dan suka berganti-ganti pasangan perempuan muda namun selalu menjadi bercandaan banyak orang karena tetap dianggap jomblo, tak bisa disangkal ia adalah seniman perfilman yang sebenarnya.
Seperti halnya aktor kelas A Hollywood pada umumnya, George Clooney memulai kariernya dengan mulus. Menjadi idola “ibu-ibu dan remaja putri” saat membintangi serial TV terkenal ‘E.R.’, George Clooney kemudian mulai dilirik sutradara-sutradara kenamaan seperti Robert Rodriguez, Steven Soderbergh, Coen Brothers sampai Terrence Mallick.
George Clooney tahu benar bagaimana cara menyeimbangkan antara film hiburan dan film seni. Anda bisa menikmatinya dalam film seperti ‘Gravity’, tapi di saat yang bersamaan Anda bisa menyaksikannya dalam film seperti ‘Up In The Air’ atau ‘The Descendants’.
Kariernya di belakang layar sebagai sutradara dimulai dengan ‘Confessions of A Dangerous Mind’ yang cukup dipuja oleh para kritikus meskipun gagal secara finansial. Film keduanya ‘Good Night, and Good Luck’ bercerita tentang perang politik antara jurnalis dengan politikus. Film ketiganya, ‘The Ides of March’ yang dibintangi Ryan Gosling memiliki nasib serupa dengan ‘Good Night, and Good Luck’: mendapatkan perhatian dari Oscar.
Melihat resume impresif dari Clooney, apa yang ditawarkannya dalam film terbarunya yang berjudul ‘The Monuments Men’?
Di-setting di Eropa pada akhir Perang Dunia II, sekelompok orang pecinta seni yang dipimpin oleh Frank Stokes (George Clooney), pergi ke lokasi perang untuk mencegah Hitler mengkoleksi barang-barang seni yang tiada duanya demi kepentingan pribadi. Sebuah premis yang sederhana namun di tangan Clooney dan dibantu dengan penulis skrip Grant Heslov, film ini menjadi sebuah petualangan yang tidak akan pernah Anda lihat di film-film yang lain. Perang di sini hanya sebagai background, fokus utamanya adalah para pecinta seni ini melacak barang-barang seni yang hilang.
‘The Monuments Men’ cukup memuaskan. Film ini mempunyai sisi komedi yang begitu lucu –yang hampir semua momen tersebut dipersembahkan oleh Bill Murray dan Bob Balaban yang bermain tanpa cela– yang bisa membuat Anda menyeringai bergembira, ditambah dengan drama yang pas. Akan ada momen ketika Anda bisa berkaca-kaca menyelami persahabatan antarkarakter dalam film ini.
Bagian minusnya, sebagai sebuah film karya George Clooney, ‘The Monuments Men’ tidak bisa menyamai kegemilangan seperti yang ia sajikan dalam ‘Good Night, and Good Luck’ atau ‘The Ides of March’. Clooney seperti kurang bisa “menyatukan” aktivitas terpisah yang dilakukan oleh karakter utama film ini ke dalam sebuah plot yang sama. Hasilnya seperti pecahan-pecahan fragmen yang tidak melengkapi satu sama lain. Porsi adegan drama dan komedi juga tak imbang; apakah kita sedang menyaksikan film komedi berbumbu drama, atau drama berbumbu komedi?
Di luar segala kekurangannya –termasuk temponya yang begitu ngesot saking lambatnya– ‘The Monuments Men’ tetaplah tontonan yang menyenangkan dan membuat Anda termenung. Apakah benda seni lebih berharga dari nyawa manusia? Apakah layak merelakan nyawa demi sebuah patung? Anda sendiri yang hanya menjawab dan seperti biasanya, Clooney hanya memberikan pertanyaan. Yang kalau boleh ditambahkan, sebuah pertanyaan yang bagus.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
Sumber :
- http://portal.cbn.net.id/cbprtl/CyberTainment/detail.aspx?x=Movie+Review&y=CyberTainment|0|0|6|410
- The Monuments Men – Sebuah Pertanyaan Moral dari George Clooney