Menggaet Konsumen dengan Storytelling
Beberapa tahun lalu, memperkenalkan produk atau brand melalui promosi yang langsung menembak sasaran atau dengan copywriting yang lugas berbicara tentang keunggulan produk tersebut sudah cukup untuk membuat konsumen tertarik untuk membelinya. Misalnya, bumbu masak: “Menjadikan Semua Makanan Istimewa” atau pasta gigi: “Sahabat Gigi Cemerlang dan Napas Segar”. Namun, cara ini ternyata sudah tidak cukup menggugah konsumen untuk mencari tahu lebih banyak mengenai produk tersebut, apalagi membelinya.
Kini, pendekatan berbentuk storytelling sepertinya lebih disukai oleh konsumen. Bukti kecilnya, seberapa sering Anda menghentikan aktivitas Anda untuk menonton video mengharukan yang terdapat di linimasa Facebook? Jika isi video tersebut menyentuh perasaan, besar kemungkinan Anda akan menyebarkan tautan video itu, dan teman-teman Anda akan melakukan hal yang sama.
Fakta bahwa video tersebut dibuat oleh sebuah brand sebagai bagian dari kampanyenya, mungkin tidak terlalu Anda permasalahkan. Namun, efek jangka panjang bagi brand tersebut, pesan terus tersebar luas dan akhirnya menjadi viral.
Kesukaan manusia terhadap storytelling alias dongeng tak lepas dari peran otak manusia, yang lebih mudah menyerap cerita daripada sederet data dan fakta yang kering emosi. Sejak dahulu, orang tua menggunakan strategi mendongeng untuk menyampaikan nilai dari generasi ke generasi.
Dalam dunia pemasaran, strategi storytelling bisa berhasil ketika mampu menyentuh emosi konsumen. Tidak sebatas mengingat ceritanya, tetapi konsumen merasa terhubung dengan pesan yang ia terima, sehingga pada akhirnya dia mau membeli produk brand tersebut.
Menurut Ina Agustini Murwani, Deputy Head of Program MM Creative Marketing BINUS Business School, storytelling dalam dunia pemasaran sebenarnya bukan hal baru. Pada dasarnya, hal itu wajib dilakukan untuk menciptakan dan mengomunikasikan nilai pada konsumen. “Sekarang hampir semua hal hanya bersifat transaksional. Nah, ketika membangun storytelling, sebagai pelaku pemasaran, kita perlu mengajak konsumen berhenti sejenak dan merasakan emosi melalui kisah yang bagus. Sehingga, mereka akan mendengarkan dan mengingat nilai brand yang kita miliki,” papar Ina.(f)