Sosok Bapak BINUSIAN
Dunia pendidikan merupakan passion terbesar bagi Pak Wibowo sejak jaman dahulu, begitu panggilan akrab Joseph Wibowo Hadipoespito. Tidak peduli jarak 10 kilometer jauhnya, Pak Wibowo selalu mengayuh sepeda untuk datang ke sekolah yang berada di Madiun setiap harinya. Namun demikian, ambisinya untuk meraih gelar sarjana terpaksa harus dilupakan di tengah jalan. Kesulitan ekonomi menyebabkan Pak Wibowo hanya dapat menyelesaikan pendidikannya hingga tingkat dua MULO (Meer Uitgerbreid Lager Onderwijs), setingkat SMP pada waktu itu. Sebagai anak ketiga dari empat bersaudara, kehidupan Pak Wibowo yang lahir di Maospati, pada 21 Oktober 1918 telah ditimpa oleh berbagai kesulitan. Ibunda tercinta, Oei Ban Lian, berpulang ke rumah Tuhan saat Pak Wibowo baru berumur tiga tahun. Sedangkan saat menginjak usia ke enam belas, Pak Wibowo telah menjadi yatim piatu setelah peninggalan ayahanda, Oei Kiong Hie, yang menjadi panutan hidupnya. Tragedi tersebut menyebabkan ia mulai mencari pekerjaan di Surabaya agar bisa menghidupi kebutuhannya sehari-hari.
Sewaktu ia bekerja, Pak Wibowo bertemu dengan gadis pujaan hati, Cecilia Setianingsih, putri ketiga dari pasangan Bapak Oen Ie Siang dan Ibu Njoo Iet Nio. Mereka pun saling menaut janji pada 26 Juni 1946 di Probolinggo. Dengan berbekal nilai-nilai yang diajarkan oleh almarhum ayahanda, yakni keberanian untuk membela kebenaran, semangat hidup yang tinggi (kerja keras), dan selalu menggali kesempatan, Pak Wibowo memboyong Ibu Cecilia ke Malang untuk mengarungi kehidupan baru dan membentuk keluarga yang diberkati Tuhan Yang Maha Kasih.
Tiga Nilai Utama Penunjang Sukses
Keberanian sangat lekat dengan identitas diri Pak Wibowo. Sejak kecil ia telah menunjukkan sifat beraninya saat berhadapan dengan tukang tagih sekolahan karena ayahnya sering terlambat membayar iuran sekolah. Ia pun berani memutuskan untuk tidak meneruskan sekolah sebagai bentuk pembelaan pada ayahnya yang sering dihina oleh tukang tagih tersebut. Baru sesaat setelah Pak Wibowo menikah, ia pun kembali memperlihatkan keberaniannya dengan berpartisipasi melawan Agresi Belanda.
Di Malang, Pak Wibowo tergerak untuk berjuang mengusir penjajahan dari tanah air dengan membuat dan menyebarkan pamflet yang berisi teriakan kemerdekaan. Pak Wibowo yang saat itu bergabung dengan PAS-O (Pasukan Oembaran) membuat publikasi tersebut dilakukan di rumahnya secara sembunyi-sembunyi bersama rekan-rekan seperjuangan. Namun selain itu, Pak Wibowo pun turut angkat senjata, bertugas sebagai penyedia pengadaan senjata dan obat-obatan, sekaligus bertanggung jawab mencari dana untuk membiayai perang gerilya tersebut. Tanggung jawab tersebut ia peroleh karena Pak Wibowo terkenal pintar berstrategi, bernegosiasi dan mencari akal. Untuk mendapatkan dana ia menjual barang-barang berharga yang diperoleh dari Bapak Syamsul Bahri. Bahkan dana pribadi Pak Wibowo kadang terpakai untuk membiayai perjuangan tersebut. Selain itu untuk mendapatkan tambahan dana, Pak Wibowo menjual-beli ban dan mengangkut rokok dari pabrik di Malang ke Probolinggo. Biasanya dalam pengangkutan rokok setiap kali melewati pos-pos Belanda harus membayar cukai. Kali ini Pak Wibowo punya cara lain untuk menghindari pembayaran cukai tersebut. Ia dengan kepiawaiannya berkomunikasi, berhasil menyewa dua buah truk milik tentara Belanda. Truk itulah yang digunakan untuk mengangkut rokok. Karena memakai truk milik Belanda, otomatis ia terlepas dari kewajiban membayar cukai rokok sehingga dana cukai tersebut bisa ia gunakan untuk membiayai perang gerilya.
Berkat keberanian, kebijaksanaan dan kesetiaannya yang luar biasa, Pemerintah Indonesia menganugerahkan tanda jasa berupa bintang kehormatan yakni Bintang Gerilya pada tahun 1950. Bintang kehormatan tersebut diserahkan oleh Sultan Yogyakarta selaku Menteri Pertahanan Republik Indonesia saat itu.
Setelah perang gerilya usai, pada akhir 1953, Pak Wibowo hijrah dari Malang ke Probolinggo untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Untuk bisa menghidupi keluarganya, Pak Wibowo bekerja sebagai pedagang kertas. Sedangkan Ibu Wibowo meneruskan usaha keluarganya yang membuka toko mas. Mereka mempunyai enam putra-putri yakni Richard Oei, putra pertama yang lahir pada 21 Mei 1947, lalu disusul Eduard Waluyo sebagai putra kedua lahir pada 10 Maret 1949. Hanya selang satu tahun Bapak dan Ibu Wibowo memiliki anak ketiga, satu-satunya perempuan, yang diberi nama Theresia Widia Soerjaningsih, yang lahir pada 19 Oktober 1950. Tak lama pada 23 Juni 1952, Ibu Wibowo melahirkan putra keempat yakni Bernard Gunawan. Selang empat tahun lamanya, tepatnya pada 1 Mei 1956, Bapak dan Ibu Wibowo kembali dikarunia putra kelima yang diberi nama Carmelus Susilo. Kemudian setahun setelah itu, Ibu Wibowo melahirkan putra bungsunya, Robert Tjahjono pada tanggal 27 Juni 1957.
Mempunyai tanggung jawab untuk menghidupi istri dan keenam anaknya membuat Pak Wibowo harus bekerja keras agar bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga. Setiap harinya ia harus berangkat dari rumah pukul lima pagi, disaat anak-anak masih terlelap, dan tiba kembali sekitar sepuluh malam, ketika anak-anak sudah tidur. Hal ini terjadi karena selama enam hari seminggu, Pak Wibowo harus mengambil kertas dari pabrik di Leces, sekitar 10 kilometer dari Probolinggo, dan menjualnya ke berbagai perusahaan di Probolinggo, Surabaya dan sekitarnya. Namun disamping mewujudkan nilai kerja keras yang dicontohkan dari ayahnya, Pak Wibowo pun tetap tak lupa dengan passion yang dimilikinya pada dunia pendidikan. Pak Wibowo pun turut membantu pencarian dana untuk membangun sekolah-sekolah di daerah Jawa Timur, mulai dari Probolinggo, Jember, Lawang dan sekitarnya. Selain itu, Pak Wibowo bertekad menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin sehingga mereka bisa mendapatkan ilmu dan bekal yang cukup untuk berjuang menjalani kehidupan. “Harta dan jabatan bisa hilang dengan sekejap, tetapi ilmu akan melekat selamanya,” begitu petuah Pak Wibowo kepada seluruh anaknya.
Selama di Probolinggo, Pak Wibowo aktif dalam berbagai organisasi kemasyarakatan seperti organisasi Pemuda Katolik, PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) dan gerakan anti komunis. Ada satu cerita menengangkan yang kembali dapat menggambarkan keberanian Pak Wibowo. Saat PKI merajalela, Pak Wibowo yang bergabung dalam gerakan antikomunis menyelamatkan Rufinus Lahur, Ketua Presidium PMKRI Cabang Malang yang menjadi musuh Pemuda Rakyat (organisasi pemuda dibawah naungan PKI). Karena kevokalan dan kegiatan Rufinus Lahur mengerahkan massa anti komunis, Rufinus diincar akan dibunuh oleh Pemuda Rakyat. Mengetahui hal tersebut, Pak Wibowo langsung membawa lari Rufinus dengan mobilnya sehingga Rufinus bisa selamat dari upaya pembunuhan tersebut.
Walaupun kiprah Pak Wibowo di Probolinggo sudah cukup berhasil, namun Bapak dan Ibu Wibowo memutuskan untuk kembali ke kota Malang pada 1966 karena mereka menginginkan anak-anaknya yang telah menginjak remaja mendapatkan pendidikan dari sekolah terbaik. Mereka menyekolahkan putra-putrinya di SMA Katolik yang terkenal dengan kualitas tinggi yaitu SMA St. Maria dan SMA St. Albertus (SMA Dempo). Pada 1969, bisnis penjualan kertas Pak Wibowo sempat terganggu karena salah satu pelanggannya di Surabaya membayar dengan cek kosong. Kondisi keuangan keluarga sempat morat marit untuk bisa menutupi pembayaran ke pabrik dan upah pegawai. Akibat kehilangan dana yang cukup besar, Pak Wibowo pun tidak lagi menjual kertas tetapi hanya bisnis kecil-kecilan jual beli hasil bumi. Pada tahun 1970, Ibu Wibowo mulai mengembangkan bisnis kripik singkong, sekoteng dan makanan kecil lainnya untuk membantu perekonomian keluarga. Kerja keras keduanya dan semangat juang yang tinggi dari Bapak dan Ibu Wibowo membuahkan hasil. Tekad mereka menyekolahkan para putra-putrinya ke tempat terbaik dapat terlaksana. Setelah menyelesaikan SMA, mereka mengirim keenam anaknya kuliah di Jakarta.
Sepeninggal anak-anaknya ke Jakarta, Bapak dan Ibu Wibowo memutuskan turut hijrah ke ibukota agar terus dapat membimbing dari dekat para putra-putrinya. Karena mereka aktif di paroki Malang, sewaktu pindah ke Jakarta, dibantu oleh seorang Romo dan tinggal di rumahnya di kawasan Rawabelong, Jakarta. Mereka lalu kembali memulai usaha dari bawah dengan menjual roti goreng. Tukang rotinya mereka datangkan dari Malang dan dijual di Tanah Abang. Berkat keteguhan dan kerja keras, mereka dapat menyewa rumah sendiri di Jl. Makaliwe di kawasan Grogol. Dari sini, Ibu Wibowo mengembangkan usaha catering yang memulai usahanya dari hanya mempunyai empat pelanggan hingga menjadi 200 pelanggan.
Sebagai peraih bintang gerilya, semangat kecintaan pada negara ini tak pernah surut. Lepas dari berbagai perjuangan yang telah dilakukan, Pak Wibowo tetap mencari cara untuk bisa memberikan kontribusi terhadap bangsa Indonesia. Pada tahun 1974, setelah berdiskusi dengan putri semata wayang, Ir. Th. Widia Soerjaningsih yang baru saja lulus dari Fakultas Teknik Trisakti, Pak Wibowo melihat kesempatan untuk bisa membangun negeri ini melalui pendirian lembaga kursus komputer. Belum lagi Pak Wibowo diminta sebagai pencari dana untuk Panti Asuhan Vincentius yang mempunyai misi mendidik dan memelihara puluhan anak terlantar. Pak Wibowo berpikir jika ia berdagang lagi dan mengalami pasang surut seperti yang pernah dilakoni sebelumnya akan berdampak besar pada keluarga dan juga anak-anak di Panti Asuhan Vicentius ini. Sedangkan melalui pendidikan, Pak Wibowo bisa meraih berbagai manfaat sekaligus. Akhirnya pada 21 Oktober 1974, Pak Wibowo yang dibantu oleh putra-putrinya membuka Modern Computer Center (MCC). MCC ini memakai tempat di Panti Asuhan Vicentius dan hanya buka malam hari sewaktu ruangan tersebut tidak terpakai. Renovasi pun dilakukan karena ruangan tersebut lampu penerangan dan cat dinding yang sudah lusuh. Komitmen yang diberikan Pak Wibowo adalah memberikan 50% keuntungan yang didapat kepada Panti Asuhan Vicentius.
Dari kesempatan membuka lembaga kursus komputer, Pak Wibowo beserta putra-putrinya bekerja keras dan keberanian menerima tantangan untuk bisa membesarkan lembaga pendidikan ini. Tiga nilai yang dianut Pak Wibowo tersebut berbuah manis. Lembaga pendidikan yang bermula dari kursus komputer dengan belasan siswa sekarang berhasil menjadi lembaga pendidikan terkemuka di Indonesia yang menyediakan pendidikan mulai dari tingkat pra-TK hingga Universitas dengan mempunyai 30.000 siswa/mahasiswa.
Sayangnya semua kesuksesan dan prestasi BINUS tidak dapat disaksikan oleh Pak Wibowo. Bapak Binusiantelah pergi meninggalkan 6 anak dan 6 menantu, 14 cucu beserta seluruh keluarga BINUSianpada 16 Juli 2001. Kami para penerus senantiasa mengenang dan meneladani seluruh kebijaksanaan dan mencoba terus mengamalkan amanat seoptimal mungkin sehingga dapat terus berperan serta membangun bangsa Indonesia. Karenanya BINUS akan terus terbang dan bergerak lincah menghadapi segala tantangan sekaligus selalu memberikan manfaat bagi sekitarnya.