Sosok Ibu BINUSIAN

Ibu BINUSIAN.
Ibu Dr. Ir. Th. Widia Soerjaningsih, MM.

Margareth Thatcher. Itulah sebutan para BINUSianterhadap sosok lembut dan penuh kasih ini. Tak salah jika sosok besar Margareth Thatcher diasosiasikan kepada Ibu Widia. Mereka sama-sama pemimpin wanita yang mempunyai daya juang tinggi, inovatif, bekerja keras, tetapi mempunyai kelembutan hati dan selalu tulus dalam membantu sesama. Wanita kelahiran Malang, 19 Oktober 1950 ini merupakan anak ketiga dan putri satu-satunya dari pasangan Joseph Wibowo dan Cecilia Setianingsih. Menjadi putri tunggal bukan berarti Ibu Widia dimanja secara berlebihan oleh kedua orang tuanya. Sewaktu kecil, Ibu Widia tidak pernah meminta mainan khusus anak perempuan yang umumnya dimiliki oleh teman sebayanya. Malahan, ia lebih sering bermain dengan kakak dan adiknya yang bermain kelereng, panjat pohon, dan mainan anak lelaki lainnya.
Bakat istimewa telah terpancar dari sosok Ibu Widia sejak ia masih duduk di bangku sekolah. Ia selalu menjadi yang terdepan dan terpintar di kelasnya. Hal ini berlanjut hingga ia berstatus mahasiswi di Fakultas Teknik Universitas Trisakti. Usaha keluarga yang dilanda masalah membuat ia beserta kakaknya mencari akal untuk tetap bisa sekolah tanpa memberatkan orang tua. Bersama kakak sulungnya, Richard Oei, mereka menawarkan jasa untuk menjadi guru les bagi murid-murid SMA tingkat akhir. Ibu Widia menjadi tutor mata pelajaran matematika dan fisika sedangkan kakaknya mengajarkan biologi dan kimia. Hanya satu tahun Ibu Widia mencari uang dengan memberikan les tambahan. Tahun berikutnya ia memutuskan untuk berhenti karena ternyata aktifitas ini mengganggu kuliahnya. Ia pun mencari uang tambahan dengan menjual kripik singkong kiriman Ibunya kepada teman-temannya. Karena aktifitas tersebut tidak menghabiskan banyak waktu, Ibu Widia berhasil mempertahankan nilai baik selama perkuliahan berlangsung. Berkat kepintarannya pula, satu tahun sebelum lulus, ia berhasil mendapatkan pekerjaan di Pertamina yang pada waktu itu mempunyai rencana akan mendirikan PACT (Pertamina Academy of Computer Technology) di Sukabumi. Pekerjaannya sebagai calon tenaga pengajar di Pertamina membuat Ibu Widia mendapatkan berbagai pelatihan tentang ilmu komputer. Tenaga-tenaga ahli dari Amerika Serikat didatangkan oleh Pertamina untuk mendidik para calon tenaga pengajar tersebut. Selain itu Ibu Widia pun sempat mengambil praktik komputer di IBM selama tiga bulan untuk memperdalam ilmu komputer yang digemarinya. Karenanya walaupun ia sudah meraih gelar tertinggi tetapi ia tak pernah mau berhenti belajar. Meluangkan waktu satu jam dalam sehari untuk membaca adalah wajib hukumnya. Dari berbagai bacaan itulah, biasanya ia mendapatkan inspirasi untuk bergerak maju dan memetakan pertumbuhan BINUS selama 20 tahun hingga 30 tahun ke depan. Sungguh suatu langkah visioner yang jarang dilakukan oleh pemilik sekaligus pemimpin suatu lembaga pendidikan pada jaman tersebut.
Sebagai pengagum Ibu Theresa, ia pun selalu tergerak untuk membantu orang lain yang sedang kemalangan. Sebagai contoh, Ibu Widia bersama anak didiknya membuat piranti lunak dengan huruf Braille untuk kalangan tuna netra agar mereka tetap bisa terus belajar. Hal ini merupakan terobosan besar yang dilakukan pada masa itu. Selain itu sifatnya yang welas asih dan penuh kesederhanaan menjadi panutan semua BINUSian. Sering kali saatnya istirahat atau pulang kantor, mahasiswa datang menemuinya untuk bertukar pikiran atau sekadar curhat akan masalah yang dimilikinya. Ibu Widia pun dengan sabar mendengarkan semua keluhan-keluhan yang datang, baik dari mahasiswa ataupun dari karyawannya. Ibu Widia juga tidak pernah membeda-bedakan karyawan dari tingkat jabatan. Setiap bertemu karyawan, tidak peduli ia pejabat atau petugas kebersihan, Ibu selalu menyapa dengan penuh hangat dan santun. Semua dianggap sebagai satu keluarga besar sehingga komunikasi dapat berjalan lancar. Hal ini juga yang berkontribusi terhadap kesuksesan BINUS hingga saat ini.
Namun kesibukannya tidak membuat ia lupa melupakan kewajiban sebagai seorang istri sekaligus ibu. Bersama suaminya, ia berhasil membesarkan ketiga anaknya yakni Stephen, Francis dan Patricia yang saat ini ketiganya telah menyelesaikan pendidikan tinggi dari Amerika Serikat. Ibu Widia pun selalu meluangkan setiap sabtu sore untuk pergi ke gereja bersama seluruh keluarga. Ketiga anaknya dididik dengan penuh kasih sayang dan diajarkan bagaimana bermimpi sehingga mempunyai tujuan hidup. Satu anggapan bahwa masa depan merupakan milik orang yang mempercayai mimpinya diyakini sepenuh hati oleh Ibu Widia.

“Semua berawal dari mimpi. Dan jika kamu berikan yang terbaik untuk mimpimu, maka hanya yang terbaiklah yang akan menghampiri kamu sebagai balasannya.” Itulah petuah yang selalu diingatkan Ibu Widia kepada para seluruh keluarga BINUSian. Maka tak salah jika lagu I have a dream, dari ABBA menjadi lagu favoritnya karena menggambarkan visi besar dari mimpi itu sendiri. Tak jarang Ibu Widia memutar lagu ini dikala rapat sebagai pembuka acara atau mendendangkannya sewaktu bersantai bersama dengan keluarga.
Impian Ibu Widia memberikan pendidikan berkualitas dengan harga yang terjangkau kepada seluruh lapisan masyarakat memang belum terealisasi sempurna karena takdir berkata lain. Setelah melalui perjuangan panjang, Ibu Widia Soerjaningsih akhirnya berpulang ke rumah Tuhan pada 24 Desember 2004. Meskipun begitu, mimpi itu tidak akan hilang begitu saja sepeninggal beliau. Segala jerih payah Ibu Widia sebagai salah satu guru bangsa akan terus dilanjutkan sehingga semboyan BINUS yakni membangun masa depan Indonesia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, akan terus berkibar selamanya.